(0341) 571035 library@um.ac.id

Oleh : Djoko Saryono

Bagi saya, di dunia-kehidupan akademik dan intelektual, Prof. Achmad Effendi Kadarisman, M.A., Ph.D (selanjutnya disingkat AEK) merupakan sosok langka yang – meminjam istilah Rudolf Otto– mysterium tremendum et fascinosum, menggentarkan sekaligus memesona pada zaman kiwari. Sebagai sosok yang menggentarkan sekaligus memesona, AEK akan senantiasa luput dicandra secara utuh, selalu mrucut [Jawa: terlepas] digambarkan dengan bahasa. Pencandra atau penggambarnya seakan-akan hanya – meminjam larik puisi Amir Hamzah – “bertukar tangkap dengan lepas”. Siapa pun – termasuk saya – tak cukup puas mencandranya dengan leksikon, terminologi, dan diksi denotatif, sehari-hari, dan umum.

Mengapa demikian? Sebab AEK telah menjelma semesta konotasi, bahkan semesta metafora. Pinjam istilah Lakoff dan Johnson dalam Metaphors We Live By (1980), AEK bukanlah dead metaphors dengan makna membeku, menunggal (baca: menjadi tunggal), dan konvensional. Pinjam istilah Paul Ricoeur dalam Rule of Metaphors (2003), dia adalah living metaphors yang menyemburkan dan menyemburatkan keanekaragaman makna yang dinamis, segar, dan tak pernah mati. Dalam ungkapan hiperbolis, ingin saya katakan bahwa sosok diri, hidup, dan kehidupan AEK menjadi jagat metafora, dalam pengertian seperti dikatakan oleh Murakami (via Shivani Bajaj) dalam Kafka on the Shore (2005) bahwasanya “everything in life is a metaphor and describes these metaphors very beautifully in his book” (baca: Kafka on the Shore, DS). Menggunakan diksi AEK sendiri dalam Tembang Kapang, Tembang Bebrayan (2007), jagat metafora tersebut dapatlah disebut sebagai „jagad gumelar‟ atau jagat tergelar.

Dalam tatanan jagat tergelar yang dirimbuni oleh metafora itulah AEK menjadi sosok guru yang mendaki puncak makrifat keilmuan di bidang bahasa dan sastra, berbekal ketinggian langit ilmu yang bersenyawa dengan kehanifan diri sebagai insan. Bukan hanya derajat tinggi pengetahuan bahasa dan sastra dikuasainya, melainkan juga pengetahuan diri-sejati tampak dapat digapainya, yang notabene pengetahuan kehidupan sejati (kawruh sejatining [nga]urip). Ini membuat pengetahuan bahasa dan sastranya yang tinggi menjadi „cermin begitu bening‟ untuk menangkap dan menatap pengetahuan suci atau semacam scientia sacra [pinjam istilah Syed Hussein Nashr dalam Knowledge and Sacred, 1989], seperti tampak dalam geguritan-geguritan dan puisi-puisinya. Di sini terbentuk kepaduan hubungan (a) yang lingual dan puitis dengan yang sakral di samping (b) yang manusiawi dan duniawi dengan yang ilahiah. Dalam pandangan AEK, tampaknya segala sesuatu tersambung sistemis di dalam sistem jejaring, tak ada keterputusan atau keterpatahan satu hal dengan hal lain.

Keyakinan akan keberjejaringan segala sesuatu itu membuat AEK leluasa melihat dan memperlihatkan kebersambungan yang duniawi dan manusiawi dengan yang ilahiah (vertikalitas) selain ketersambungan yang personal-individual dengan yang sosial-kolektif (horisontalitas). Bahkan dengan enak AEK juga menghubung-padukan segala yang vertikal dengan segala yang horisontal. Tak heran, dia dapat membuat pernyataan yang melenting jauh ke langit tinggi dari kerendahan bentang bumi tentang kemelekatan hubungan antara puisi, manusia, dan Tuhan.

Dalam pengantar Tembang Kapang Tembang Bebrayan (2007), dinyatakan bahwa Iki Tembang Kapang, Tembang Bebrayan tembange kangenku marang sliramu, uga marang slira-Mu. Wiwitane kidung wuyung langensari, sabanjure tresna tuhu marang manungsa lan kamanungsan, kasambung rasa asih marang jagad agung kang gumelar lan jagad alit kang ginurit, lan pungkasane pasrah ngabekti, tresna sumarah marang Gusti. Urip iki kala-kala isi kapang lan panandhang, nanging sengseme ora kaya yen marsudi kawruh jati, lan ora bakal awit esem-guyune manungsa. Mula sajroning lelaku sok dak tulis guritan cengengesan-nggutuk lor kena lor! Wusana kabeh pancen kudu bali-nyemak lan mangerteni sangkan-paraning dumadi”.

Pernyataan di atas mengisyaratkan puitika sebagai jalan pulang kepada muasal kejadian, seperti tersimpul dalam kalimat terakhir:/Wusana kabeh pancen kudu balinyemak lan mangerteni sangkanparaning dumadi/. Karena itu, puitika tidak berhenti sebagai dan demi puitika itu sendiri, melainkan puitika menembus lapisan kemanusiaan, kesemestaan, dan berujung ketuhanan. Di sini puitika menjadi jalan menemui kemanusiaan, kesemestaan, dan ketuhanan. Hal ini mengingatkan saya pada kalangwan sebagai kaidah-utama estetika Jawa kuna seperti dipaparkan oleh Zoetmulder (1984) dan persatuan yang indah, berfaedah, dan kamal sebagai kaidah pokok estetika Melayu Lama seperti jelaskan oleh Braginsky (1998). Bersandar pada pandangan Nashr (1989), puitika seperti itu boleh disebut puitika perenial; atau bertumpu pada pikiran Kuntowijoyo (2019), puitika seperti itu dapat disebut puitika profetik. Bisa jadi inilah maklumat kepenyairan dan kredo puitika AEK.

Maklumat kepenyairan dan kredo puitika tersebut menjadi wawasan AEK untuk memandang sesuatu sebagai keutuhan kosmologis, bukan sebagai patahan-patahan yang fragmentatif-segregatif atau kontradiktif. Dalam bingkai inilah, misalnya, AEK meyakini tesis bahwa yang lokal dengan yang global, yang partikular dengan yang universal, dan bahkan yang fana (profan) dengan yang abadi (perenial) bersambung secara timbal-balik, seperti tampak gamblang dalam teks pidato pengukuhan guru besarnya yang berjudul Etnopuitika: Merajut Nilai Lokal, Menjaring Skala Global. Intinya, menurut AEK, yang lokal-partikular menggendong yang global-universal; dan sebaliknya, yang global-universal selalu membopong yang lokal-partikular. Demikian juga kebersambungan yang fana dengan yang abadi; yang fana pulang ke yang abadi, dan yang abadi menampung yang fana.Oleh  sebab  itu,  lokalitas/partikularitas/kefanaan  dengan  globalitas/universalitas/keabadian bukanlah dualitas, satu oposisi biner, dan pertentangan, tetapi keberpasangan dan kelengkapan yang dapat menjadi titik berangkat, yang kemudian bertemu dan menyatu pada akhirnya. Kebersambungan itu membuahkan tesis tentang ketegangan dinamis yang harmonis dan komplementer antara satu hal dan hal lain, yang dinamai oleh AEK sebagai tarik-ulur.

“Tarik-ulur itu seperti tarik-ulur antara yang mutlak dan yang nisbi. Ambisi manusia adalah mencapai Kebenaran Mutlak dengan K-besar; namun, dalam kenyataan sehari-hari, termasuk dalam penelitian akademik, yang kita temukan adalah kebenaran sepotong demi sepotong dengan k-kecil. Dalam etnopuitika, mimpi besarnya adalah menggapai Keindahan yang Sempurna (al-Jamaal wa al- Kamaal); tetapi yang sempat kita raih hanya keindahan sementara” (2016:23).

Dapat disimpulkan, bagi AEK, keindahan bekerja dan berjalan menuju kemanusiaan, kesemestaan, dan ketuhanan; puitika/estetika bermula, bekerja, dan bermuara pada humanitas dan religiositas. Tak heran, karya sastra yang disurat oleh AEK senantiasa „basah kuyub‟ dengan perpaduan serasi- rapi antara puitika, humanitas, dan religiositas yang membentuk jejaring siklis fase-fase kehidupan.

Maklumat kepenyairan dan kredo puitika AEK tersebut tak berhenti pada tataran konseptual- teoretis, tetapi membumi ke dataran praksis-aplikatif dalam karya kreatif. Secara umum dapat dikatakan bahwa maklumat kepenyairan dan kredo puitika AEK tersebut diejawantahkan atau dibutuhkan kumpulan puisi Selembar Daun Hening karya AEK ini. Kalau kita membaca layap (skimming) kumpulan puisi ini segera kita menangkap filosofi keberpasangan dan kelengkapan (kejangkapan) yang bisa disebut sebagai salah satu dimensi penting dalam kredo puitika AEK. Lihatlah, tiap-tiap puisi dalam kumpulan ini berupa „bahasa rupa atau foto‟ yang dipilih secara selektif dan „bahasa ungkap verbal‟ yang secara konvensional lazim dikata puisi, yang keduanya merupakan satu kesatuan, tak bisa dipisahkan. „Bahasa rupa atau foto‟ yang menyertai-menuntun secara serasi-rapi „bahasa ungkap verbal‟nya tidak dapat diperlakukan hanya sebagai ilustrasi, ornamen, stimulus atau konteks, melainkan „separuh nyawa puisi‟ agar kepenuhan makna dan kememadaian tafsir puisi dapat dicapai. Apalagi (dalam pengantar) AEK telah menyatakan sebagai berikut.

Kumpulan puisi ini adalah hasil percobaan. Ia bermula dengan foto, yang saya minta untuk berbicara tentang dirinya. Jelasnya, sambil mencermati setiap foto, saya biarkan imajinasi saya berkelana sejauh-jauhnya. Lalu kata demi kata mematut diri, ungkapan demi ungkapan lahir, dan lambang demi lambang membuka jendela-makna Pengakuan AEK tersebut jelas menegaskan asas koeksistensi „bahasa rupa atau foto‟ dan „bahasa ungkap verbal‟, yang secara simultan-komplementer-holistis keduanya saling menghidupi dan menghidupkan puisi-puisi AEK. Berkat „bahasa rupa atau foto‟lah, maka semua „bahasa ungkap verbal‟ mengada sebagai puisi secara utuh dan lengkap; dan sebaliknya berkat „bahasa ungkap verbal‟lah, maka „bahasa rupa atau foto‟ menjadi nyawa puisi yang membadan. Ambillah contoh puisi pertama berjudul Selembar Daun, yang begitu reflektif dan kontemplatif, yang menyorotkan kedalaman dan keluasan makna humanistis-transendental yang bermula pada usaha manusia dan berujung pada keberserahan kepada yang kuasa. „Bahasa ungkap verbal‟ puisi tersebut akan mati makna (terutama makna metaforis) bilamana dicabut atau dilepaskan foto selembar daunnya; dan sebaliknya „bahasa foto‟ selembar daun tidak akan menjadi „nyawa puisi‟ yang membadan bilamana„bahasa ungkap verbal‟nya dibuang. Memisahkan salah satu di antaranya menjadikan puisi Selembar Daun dan puisi-puisi lainnya mengalami kematian atau minimal „kebangkrutan‟ semantis- metaforis; menceraikan salah satu di antara keduanya sama saja dengan „meniadakan puisi‟ AEK. Mengapa? Karena keduanya bukan sekadar „persandingan‟ dua teks, melainkan „persenyawaan‟ dua teks; bukan hanya memiliki hubungan intertekstual, tetapi kesatu-utuhan tekstual. Dari sinilah bisa dikatakan bahwa semua puisi dalam kumpulan Selembar Daun Hening mengusung danmenawarkan puitika visual (seturut pengertian Ayala Amir dalam Visual Poetics of Raymond Carver, 2010), yang mengintegrasikan dan meluluhkan yang verbal dengan yang visual.

Puitika visual dalam kumpulan Selembar Daun Hening yang memperlihatkan kesatuan „bahasa rupa atau foto‟ dan „bahasa ungkap verbal‟ bagaikan stasiun perjalanan kehidupan. Tiap stasiun perjalanan kehidupan diwakili oleh satu puisi. Stasiun pertama permulaan perjalanan kehidupan dipresentasikan oleh puisi Selembar Daun dan stasiun terakhir perhentian perjalanan kehidupan dipresentasikan oleh puisi Hening. Perjalanan dimulai dengan larik //Selembar daun adalah gurat- gurat perjuangan/Gurat telapak tangan: suratan ungu di punggung waktu/…/Pada doa di ujung hari:  menguning,  lalu  sepi//  (Selembar  Daun),  kemudian  berakhir  dengan  larik  //Tak  ada  lagi “aku”,  setelah  sampai/Menaklukkan  batin  dengan  SEPI/…/Di  alam  awang-uwung  ini,  bila cintamu  menyatu  dengan  rindu./Sampaikan  salam  pada  jejak  sunyi  diriku//(Hening).  Dalam hubungan ini diksi kosong (suwung), sunyi, atau sepi penuh isi menjadi permulaan dan akhir perjalanan kehidupan pada satu sisi dan pada sisi lain keringanan tanpa berat jenis dan bobot seolah terbebas dari hukum gravitasi. Dalam pemikiran Jawa, kosong, sunyi atau sepi tersebut lazim dimaknai kondisi tanpa apa-apa yang tan-rupa, yang menjadi hakikat segala sesuatu dan (asal)-muasal kejadian alam semesta; sedangkan dalam tradisi sufi umum dimaknai sebagai kesempurnaan kendali diri dan kesadaran sejati akan diri yang mengantarkan kepada ketuhanan sehingga disikapi sebagai kondisi makrifati, tahapan tertinggi diri manusia sebagai makhluk. Oleh sebab itu, selain menggambarkan sangkan paraning dumadi, dua kutipan puisi tersebut juga memantulkan gerak keterhanyutan dan keberserahan yang total, bahkan ketiadaan eksistensi makhluk secara baik dan tenang (yang melalui proses „menguning, lalu sepi‟ sehingga yang tinggal hanya „jejak sunyi diriku‟). Di situ terlihat bahwa bagi AEK kehidupan merupakan jaringan siklis sepi/sunyi/kosong; suatu lingkaran sepi – dari sepi dengan huruf kecil dan berakhir dengan SEPI dengan huruf kapital karena‟sepi huruf kecil‟ telah lebur dalam „sepi huruf besar‟, yang dapat ditafsir sebagai eksistensi si makhluk yang bersatu dengan eksistensi sang khalik – makhluk sebagai keindahan fana- sementara kembali kepada khalik sebagai Keindahan yang Sempurna. Inilah kondisi makrifati yang menjadi asal-muasal kejadian alam semesta termasuk makhluk di dalamnya. Di sini kita serasa mendengar nyaring-bening gema manunggaling kawula lan Gusti, gema unio mystica, atau gema wahdatul wujud (setidak-tidaknya wahdatul syuhud).

Stasiun utama keberangkatan yang dipresentasikan oleh puisi Selembar Daun dan stasiun tujuan kepulangan-kedatangan yang dipresentasikan oleh puisi Hening diperantarai oleh stasiun-stasiun antara atau perhentian sementara agar perjalanan kehidupan dapat ditempuh bertahap dan nyaman. Ada 47 stasiun antara atau perhentian sementara kalau setiap puisi diperlakukan mewakili tiap stasiun perjalanan kehidupan. Dengan kata lain, 49 puisi yang terhimpun dalam kumpulan Selembar Daun Hening ini menjadi tanda semiotis 49 stasiun perjalanan kehidupan manusia untuk sampai kepada sang khalik, yakni Sang Keindahan yang Sempurna, sang SEPI dengan huruf besar, sang sangkan paraning dumadi, atau sang muasal kejadian segala. Keempat puluh sembilan puisi yang menjadi tanda semiotis stasiun perjalanan kehidupan itu „bahan-bahannya‟ tampak dipilih dengan sangat hati-hati, cermat, dan penuh perhitungan-pertimbangan oleh AEK. Mengapa? Sebab setiap puisi terkesan mewakili noktah-noktah atau momen-momen [ter]penting-bermakna kehidupan AEK, yang pada dasarnya merupakan eksemplar-eksemplar kehadiran AEK dalam kehidupan bersama [bebrayan] di jagat tergelar – baik jagat kecil maupun jagat besar. Dibaca dengan kacamata kajian memori (memory studies), noktah atau momen tersebut bisa berkategori memori, testimoni, dan nostalgia yang pantas diingat dan diawetkan (dengan teknik remembering), bukan dibuang dan dilupakan (dengan teknik forgetting), hingga meresap-menyatu di lubuk kalbu. Dengan demikian, empat puluh sembilan stasiun perjalanan kehidupan dapat dibaca sebagai tugu memori, testimoni, dan nostalgia yang „menandai‟ eksistensi AEK.

Meskipun semuanya tampak bersangkutan dengan siklus kehidupan individual dengan kategori memori, testimoni, dan atau nostalgia, noktah atau momen [ter]penting-bermakna kehidupan AEK itu sesungguhnya beraneka ragam, mulai urusan pribadi, sesama, semesta, sampai dengan urusan ketuhanan. Jika digunakan istilah atau konsep AEK sendiri, noktah atau momen kehidupan terpenting-bermakna yang menubuh-jadi puisi itu bisa dikategorikan menjadi siklus cinta yang meliputi (a) cinta personal yang penuh “kidung wuyung langensari”, (b) cinta humanis yang terfokus “tresna tuhu marang manungsa lan kamanungsan”, (c) cinta kosmis yang berorientasi pada “rasa asih marang jagad agung kang gumelar lan jagad alit kang ginurit, dan (d) cinta ilahiah yang menekankan “pasrah ngabekti, tresna sumarah marang Gusti”. Perhatikanlah, bagi AEK, seluruh siklus kehidupan manusia dinafasi oleh cinta (kosa kata Jawa wuyung, tresna, rasa asih, ngabekti, dan tresna sumarah semuanya bermakna-dasar cinta atau kasmaran dengan nuansa semantis masing-masing) – cintalah rel yang menyambungkan stasiun-stasiun perjalanan kehidupan; rasa kasih sayang-lah koordinat seluruh laku kehidupan yang perlu diwujudkan untuk menghadirkan kemanusiaan, kesemestaan, dan ketuhanan dalam kehidupan. Sampai di sini kita mendengar gaung-nyaring nilai-utama universal kemanusiaan-kesemestaan-ketuhanan yang ada di pelbagai peradaban seperti (antara lain) dikemukakan oleh Amstrong dalam Compassion (2012) dan Nasr dalam The Heart of Islam (2002). Demikianlah, maka 49 puisi AEK dalam Selembar Daun Hening mengemban empat kategori cinta yang sudah disebut di atas, yang lebih lanjut dapat dibayangkan sebagai cincin cinta siklus kehidupan manusia.

Walaupun demikian, tidak berarti kategori cinta (a) lebih rendah daripada kategori cinta (b), kategori cinta (b) lebih rendah dari kategori cinta (c) atau kategori cinta (c) lebih rendah daripada kategori cinta (d). Sebabnya, semua memori, testimoni, dan nostalgia yang menjadi noktah atau momen terpenting-bermakna tersebut telah mengalami proses refleksi, kontemplasi, bahkan transendensi yang demikian sublim dan subtil. Tak terelakkan, ke-49 puisi yang terhimpun dalam Selembar Daun Hening ini demikian sublim dan subtil pula dengan dipasaki oleh kehumanisan, kekosmosentrisan, dan kereligiusan. Misalnya, puisi Kabut Senja dan Salam Kepada Makam yang diperuntukkan bagi almarhumah istri terkasih AEK jelaslah nostalgia yang sangat personal, namun digarap dengan demikian sublim dan subtil penuh intimitas – demikian lembut, halus, teduh, dan indah tanpa ratap, keluh, sembab, dan duka sama sekali – dengan dialiri oleh nafas kemanusiaan, kesemestaan, dan ketuhanan yang kuat. Tak heran, sekalipun „banjir‟ intimitas, dua puisi tersebut bersih dari atau melampaui hasrat libidinal atau erotis, hingga yang mengemuka tinggallah cinta humanis, cinta kosmis, dan cinta spiritual. Perhatikan, puisi Kabut Senja dibuka dengan tenunan bait://Tuhan,/Kau tenun hari-hari dengan warna bajunya/Kau hiasi langit dengan impian-impiannya/Kau    ombakkan    laut    dengan    gairah    hidupnya//    dan    ditutup    dengan    rajutan bait://Tuhan,/Izinkan  kami  mencari  sisa  matahari/Sebelum  seluruh  usia  terbenam  di  cakrawala//. Kemudian puisi Salam Kepada Makam dibuka dengan bait://Assalamu alaikum, kekasihku/Di sini waktu pagi, dan di sana waktumu abadi/Namamu terpahat di batu nisan, di hatiku, di hati mami—/terpahat di relung cinta, memijar putih/ Kuuntai namamu dalam butir-butir tasbih,/terbang bersama doa: bahagialah  engkau  di  surga//  dan  diakhiri  dengan  bait://Hari  sudah  siang,  kekasihku,  kami pamitan/Yang di hati, yang dikenang, selalu berdekatan//. Ringkas kata, berbicara tentang kategori cinta apapun, semua puisi di dalam Selembar Daun Hening senantiasa dialiri begitu deras oleh nafas kemanusiaan, kesemestaan, dan atau ketuhanan/keilahian yang sangat sublim dan subtil, nyaris tanpa nada emosional. Oleh karena itu, himpunan puisi Selembar Daun Hening bagaikan sebuah pertunjukan aubade puitika, humanitas, dan religiositas (spiritualitas) dengan tembang berkategori memori, testimoni, dan nostalgia yang mewartakan perjalanan kehidupan AEK di jagat raya dari keberangkatan di stasiun dunia sampai ketibaan di stasiun alam kelanggengan yang surgawi.

Sejak keberangkatan dari stasiun dunia yang ditaburi serpihan/potongan keindahan (dengan k- kecil) sampai ketibaan di stasiun surgawi yang ditunggui Keindahan Yang Sempurna (dengan K besar), perjalanan kehidupan AEK melintasi stasiun-stasiun kehidupan tampak berlangsung tanpa beban, penuh keberserahan dan keikhlasan, dan kesadaran tinggi serta tenang tanpa hiruk pikuk kegaduhan. Dikatakan demikian karena bagi AEK dirinya sebagai manusia atau makhluk bukanlah apa-apa (juga bukan siapa-siapa) di hadapan kehidupan, apalagi di depan Sang Mahahidup. Karena itu, dengan kesadaran tinggi tiap insan harus berserah, pasrah, dan ikhlas kepada Sang Mahahidup tanpa perlawanan, pemberontakan, dan pergolakan berarti, apalagi pengingkaran sekalipun tetap harus aktif dan dinamis. Di sini AEK dengan bagus-tepat menggunakan metafora daun – bahkan hanya selembar daun, bukan pohon, hutan rimba atau benua yang membayangkan kebesaran dan kekuatan. Memang, seluruh puisi di Selembar Daun Hening ini menggunakan menggunakan diksi seperti kupu-kupu, kursi, arloji, kunci, dan pasir untuk metafora kehidupan – diksi yang sekelas selembar daun.

Kehidupan insan itu ibarat kerja selembar daun menjalani dan menemui takdirnya dengan penuh perjuangan. Kata AEK, “Berpuisi, saya bayangkan, semacam perjuangan selembar daun: kerja keras diam-diam, setia menghidupi sang pohon yang menopang dan juga menghidupi dirinya. Sampai ia tua, menguning, dan gugur ke bumi yang senyap. Ia bahagia berakhir dalam hening dan sepi.” Sebagai selembar daun, makhluk yang bisa mencapai kesepian, kekosongan, kesunyian, dan kesuwungan eksistensial yang indah, halus, lembut, dan teduh – yang terdengar atau terlihat hanya dan hanya Keindahan Yang Sempurna – laksana puisi. Tak heran, AEK berseru ingin menjadi puisi: “//Ruang kosong,/Duniamu kosong,/Menanti:/Jadikanlah aku puisi …//(Kosong II). Di sini bisa dikatakan bahwa nyaris semua puisi menunjukkan lembaran-lembaran keberserahan, kepasrahan, keikhlasan, dan ketanpabebanan dalam menikmati perjalanan kehidupan makhluk. Tak salah kalau dikatakan bahwa kumpulan puisi Selembar Daun Hening menggelar karnaval puitika keberserahan dan kepasrahan tiada tara demi bakti kepada Tuhan Yang Menjadikan Hidup (Gusti kang murbeng dumadi). Bila dibaca lebih detail akan dapat disimpulkan bahwa seluruh piranti puitika, mulai metafora, majas, citraan, gaya, sampai dengan pilihan kata diabdikan untuk menegas-kuatkan karnaval puitika keberserahan tersebut.

Saya membayangkan, dalam menggelar karnaval puitika keberserahan dan kepasrahan tersebut AEK ditemani oleh dua sosok ibu, yaitu ibu dalam arti denotatif-faktual dan metaforis, sehingga tidak pernah merasa sendiri(an), apalagi kecemasan dan ketakutan. Pertama, ibu dalam arti denotatif perempuan yang disebut AEK sebagai kekasih (dengan k- kecil). Dalam tiga puisi tentang ibu denotatif ini, yaitu istri dan dosen AEK, kita mendapati rasa keberduaan sepanjang menempuh perjalanan kehidupan. Dalam puisi Kabut Senja yang ditujukan kepada istrinya, AEK menggunakan diksi  kami  dalam  bait  terakhir  //Tuhan,  Izinkan  kami  mencari  sisa  matahari/Sebelum  seluruh  usia terbenam  di  cakrawala//  yang  membayangkan  kebersamaan  atau  keberduaan  ketika  mengarungi cahaya kehidupan sampai pasca-hayat. Dalam Salam Kepada Makam AEK selalu memakai diksi kita dan kekasih seperti terlihat pada bait berikut://Bau wangi, bau harum sampai di sini/Antara bumi dan surga: begitu dekat, isteriku,/tak ada dinding, tak ada sekat/Aku sering berkelana sampai di langit,/ sampai bintang-bintang—/mencarimu/Dalam mimpi kita bertemu// yang menggambarkan keberduaan tak lekang di alam mana pun. Selanjutnya dalam puisi Jalan Panjang yang dipersembahkan bagi Ibu Roembilin Supadi yang selamanya diakui sebagai guru, dapat dijumpai bait yang kontemplatif, transenden, dan teleologis berikut yang menggambarkan keberduaan abadi antara aku dan Ibu.

Jalan panjang,

Bilakah musim sampai di ujungnya, Ibu? Aku masih berjalan di sisimu

Langit serasa bangkit, dan burung-burung parkit terbang menghambur bersama kenangan kita, dengan sayap-sayap gemerlap, meninggalkan kota, menuju senja

Jalan panjang,

Sepi: masih adakah aku, Ibu, dalam mimpi dan puisimu?

Lebih lanjut, kedua, dalam mengarungi perjalanan kehidupan AEK juga merasa ditemani ibu (bunda) sebagai metafora (unsur) alam semesta. Dalam puisi Salam dari Bunda Alam yang spiritual- kosmosentris, AEK menulis bait berikut yang mengimajikan semesta alam sebagai Ibu[nda] (dengan I- besar) dan makhluk sebagai anak yang senantiasa di bawah naungan kasih sayang.

Salam rindu-kasih, anakku Salam bahagia dari Ibu

Ritual pagi, kupeluk kau dengan keramat matahari

Belajar berjalan di bawah cuaca,

Menemui sawah, ladang, dan benih yang tumbuh Menemui hijau daun dan kilau embun Langkahmu disambut rumput-rumput

Pagi adalah Ibunda, menuntunmu dalam cahaya

Di samping itu, AEK juga merasa ditemani oleh ibu sebagai metafora pondok pesantren atau agama Islam, yang membayangkan mata air sekaligus telaga keilmuan dan keselamatan hidup yang dijaga oleh Tuhan yang senantiasa serba hadir (omnipresence). Dalam puisi Kampung Damai yang kuat daya imanensinya, AEK menyapa pondok Gontor sebagai ibuku, yang telah memeberinya minuman pelapas dahaga kehidupan. Saya kutipkan agak panjang bait pertama dan dua bait terakhir berikut ini.

KAMPUNG DAMAI

(salam kepada Gontor, pondokku, Ibuku)

Di halaman masjid tua, di bawah rimbunnya pohon-pohon sawo

Ya Rasulullah, aku ingat raudlah, ingat danau

“Minumlah, kau tak kan dahaga. Selamanya.”

Di halaman berpasir, berjajar sajadah para santri. Ini pun tikar di halaman-Mu, ada hidangan ampunan

bagi para tamu

….

Ini potret tahun tujuh puluh (Kenangan lama jangan dibunuh.)

Karena telah kita reguk air susu kehidupan.

Karena Ibu adalah telaga:

“Minumlah, kau tak kan dahaga …”

Telah lima dasawarsa, Ibu, Terimalah,

Salam-rindu kami selalu hadir dari seluruh penjuru tanah air

Kebersamaan atau keberduaan AEK sebagai sosok makhluk dengan lambang ibu(nda) sebagai sosok perempuan, semesta alam, dan tempat ilmu yang indah-suci dalam menempuh perjalanan kehidupan – seperti terurai di atas – menyiratkan asas keberpasangan koeksistensial. Dalam hal ini aku lirik atau AEK melambangkan maskulinitas, sedang ibu(nda) melambangkan feminitas yang saling mengada –menariknya, sering terjadi maskulinitas bergantung pada feminitas. Hal ini menandakan bahwa keberduaan sebagai pasangan koeksistensial itu terdiri atas ke[ber]satuan maskulinitas (AEK atau aku lirik) dengan feminitas (lambang ibunda yang bisa berupa insan wanita, semesta alam, dan tempat indah-suci) secara selaras dan serasi. Di sinilah kita melihat kondisi dwitunggal yang bisa disebut kamil – kita merasakan kondisi kamil yang merupakan persatuan yang jamal dan kamal (al- Jamaal wa al-Kamaal) – kondisi keindahan yang paripurna (dengan k- kecil) sedang bermetamarfosa menjadi Keindahan yang Sempurna yang melampaui segala kategorisasi dan klasifikasi anasir jagat – baik jagat kecil maupun jagat besar. Dalam lensa pandang pemikiran Jawa, di sini kita seperti memandang loro-loroning atunggil (dua yang tunggal dalam jiwa): dua eksistensi yang bersatu secara selaras dan serasi. Meminjam diksi kaum sufi, mungkin inilah kondisi makrifat, melampaui kondisi dan jalan syariat, hakikat, dan tarekat. Dari sinilah dapat dikatakan bahwa bagi AEK perjalanan kehidupan menyusuri rel-rel cinta dengan menyinggahi stasiun-stasiun kehidupan, yang laksana karnaval puitika keberserahan dan keikhlasan, merupakan perjalanan makrifati yang terbebas sekat-sekat duniawi – sebuah perjalanan perenial (perrenial journey) seperti dikatakan Mamta Sehgal (2017) atau perjalanan profetik seperti dikatakan Young (2017). Sebab itu, kita sebagai pembaca Selembar Daun Hening seperti bertemu dengan puitika perenial atau puitika profetik, yaitu puitika yang tak mengabdi kepada keindahan semata-mata, tetapi juga menawarkan kebaikan, kebenaran, dan kesucian. Memang, puitika perenial seperti ini tak mungkin menggunakan piranti-piranti estetis yang mengekspresikan sesuatu dengan cara meledak-ledak, penuh gairah membuncah, dan penuh gemuruh – piranti estetis dipakai untuk mengekspresikan sesuatu dengan tenang, damai, teduh, kalem, kadang tertahan, dan kadang perlahan. Nada atau suara demikian dapat kita temukan dalam hampir semua puisi dalam Selembar Daun Hening.

Dengan keberserahan, kepasrahan, dan keikhlasan yang disinari oleh kesadaran sejati, perjalanan makrifati yang dipresensikan dalam puitika perenial merupakan perjalanan kehidupan yang menyenangkan dan membawa suka cita, bukan perjalanan menakutkan dan menyiksa. Meminjam ungkapan Bung Karno, dapat dikatakan, perjalanan makrifati adalah perjalanan menyenangkan dan membahagiakan yang „adem ayem tentrem kadyo siniram banyu ayu sewindu lawase‟ (tenang damai tenteram bagaikan diguyur air suci sewindu lamanya) – perjalanan menyinggahi stasiun cinta personal, cinta humanis, cinta kosmis, dan tiba di stasiun cinta ilahiah berlangsung tenang, damai, dan tenteram. Segala ampas pesimisme, ketakutan, ketersiksaan, dan keperihan telah disapu bersih oleh nafas keberserahan, kepasrahan, dan keikhlasan. Optimisme terbentang gamblang. Dapat dikatakan, puisi-puisi dalam Selembar Daun Hening mengusung optimisme tersebut. Jangankan perpisahan dan kehilangan benda, barang, dan harta, bahkan perpisahan dan kehilangan orang- orang terkasih pun kelapangan jiwa dan keberserahan diri yang menjadi cahaya optimisme tetap harus dipertunjukkan. Dan hal tersebut ditunjukkan oleh puisi-puisi dalam Selembar Daun Hening, misalnya puisi Dua Sahabat, Persahabatan, Menyambutmu, dan Roda-Roda Waktu. Simaklah bait pertama dan terakhir puisi Roda-Roda Waktu berikut yang menggambarkan optimisme aku lirik (AEK) dapat mencapai stasiun ketibaan perjalanan makrifati yang di situ bersemayam cinta ilahiah (//Roda-roda waktu tak „kan tergelincir/Di ujung usia dijemput takdir//).

Roda-roda waktu. Lepas

Di atas rel kehidupan, meluncur

Melindas batas. Retak Tak siapa bisa menolak

Roda-roda waktu tak kan tergelincir Di ujung usia dijemput takdir

Tiga puisi terakhir kumpulan Selembar Daun Hening bahkan mempresensikan optimisme begitu kuat, kelapangan diri yang mantap, dan keberserahan yang dahsyat. Pada puisi ke-46 kita jumpai optimisme aku lirik (AEK) telah ditawari perlindungan payung kasih sayang oleh sang khalik yang notabene Keindahan Yang Sempurna, seperti terlihat pada larik://“Akulah payung,/Tempatmu berlindung.”//. Dalam puisi Usiaku kita dapati nafas optimisme dan keberserahan yang kuat aku lirik seperti diungkapkan oleh larik //kamu di sampingku,/Kekasihku// dan larik //Bila hari terakhir ini fana,/aku tahu Kau menungguku/di sana//. Optimisme ini bukan kemeruh, nggengge mongso atau gede rasa, melainkan optimisme yang dituntun oleh terwujudnya bening-terang cinta kosmis dan cinta ilahiah. Dalam bening-terang cinta kosmis dan cinta ilahiah, makhluk bisa mengetahui „kediaman baka‟ atau stasiun terakhir kehidupan karena telah tajam penglihatan batin (waskitha) dan telah tahu sebelum kejadian (weruh sakdurunge winarah). Kediaman baka atau stasiun terakhir kehidupan itu dilambangkan rumah dalam puisi berjudul Rumah. Puisi Rumah (puisi ke-48) berisi gambaran lanskap tempat dan ruang – yang terdiri atas rumah, halaman, pagar, dan kebun – yang berkeadaan indah, memesona, menenteramkan, dan mempranakan yang membuat mulia dan agung penghuninya. Sebagai ilustrasi keadaan kediaman baka itu, berikut disajikan bait terakhir.

Kebun. Pohon-pohon (jika ruang remang) tak berhenti memohon. Kapankah melimpah

buah berkah? Ranting-ranting hening, dedaunan merunduk, khusyuk. Semerbak bunga pudak, kerlip merjan terselip di rumpun pandan, renung kecubung seperti karang menghias palung.

Betapa, taman ini menumbuhkan pesona baka dan rasa abadi, seperti suara nabi atau muara kitab suci.

Di dalam kediaman baka itulah bersemayam cinta ilahiah – yang merangkumi cinta personal, cinta humanis, dan cinta kosmis – yang dalam perspektif sufi dapat disebut maqam mahabbah. Di situ yang ada hanya dan hanya nafsu mutmainah. Dalam perspektif ajaran atau pandangan Jawa, di situ terdapat keadaan nang, ning, nung, neng, dan gung (tenang, hening, agung, tawakal, dan mulia) di dalam kemanunggalan dengan Tuhan Yang Mahaindah Sempurna. Dengan indah dan bagus, hal tersebut dipresensikan dalam puisi Hening, yang dijadikan penutup kumpulan puisi Selembar Daun Hening. Secara utuh, saya kutipkan puisi Hening agar seluruh keadaan dan suasana hening yang agung dan mulia dapat dirasakan.

HENING

Tak ada lagi “aku”, setelah sampai. Menaklukkan batin dengan SEPI

Wajah seperti rajah (berkaca di telaga)

Garis-garis nasib yang

begitu gaib. Garba kehidupan. Terus saja kau

menyelam ke

arah relung-relung terdalam

dari dirimu.

Sudahkah bertemu?

Hanya rasa

atau nuansa, atau makna Kabut yang hanyut

Lalu pelan-pelan kau sapa

rembulan. Ah, cahaya baka itu. Tak lagi silau Tak lagi kalau

Begitu teduh, lerai, begitu damai

Di alam awang-uwung ini, bila cintamu menyatu dengan

rindu. Sampaikan salam pada

jejak sunyi diriku

Begitulah, dengan sublim dan subtil puisi Hening menggambarkan akhir perjalanan kehidupan aku lirik (AEK) mencapai stasiun cinta ilahiah setelah melewati stasiun cinta personal, cinta humanis, dan cinta kosmis di atas rel-rel cinta. Stasiun cinta ilahiah tempat kediaman cahaya mahacahaya bersinggasana – ialah Sang Khalik, Keindahan Yang Sempurna.Tiap makhluk tenggelam, jumbuh atau manunggal dengan sang Pemilik Cahaya sehingga /Ah cahaya/baka itu. Tak lagi silau/Tak lagi kalau/Begitu  teduh,  lerai,  begitu/damai//.  Di  sinilah  makhluk  telah  pulang  kembali  ke  muasal kejadiannya. Ibarat novel atau filem, gerak narasi Selembar Daun Hening berakhir dengan bahagia, happy ending. Tak salah kalau dinyatakan bahwa kumpulan puisi Selembar Daun Hening mengusung puitika jalan pulang ke muasal kejadian yang menunjukkan jalan cinta dengan stasiun-stasiun: cinta personal, cinta humanis, cinta kosmis, dan berakhir cinta ilahiah. Itulah puitika yang ditawarkan oleh AEK melalui kumpulan Selembar Daun Hening.

Dan kaulah, guru, selembar daun hening

Betah tafakur di antara dedaun hijau di ranting-ranting Janganlah cepat menguning, lalu gugur, belum tiba musim Aku muridmu masih pupus gering – baru tiba di cinta jisim

* Djoko Saryono adalah penyuka sastra dan pengagum Achmad Effendi Kadarisman, sang selembar daun hening yang menunjuki jalan cinta berhiaskan cahaya tak padam dilanda angin puting.

Translate »