(0341) 571035 library@um.ac.id

Oleh : Anik Nunuk Wulyani*

Menjadi PhD candidate di Victoria University of Wellington (VUW), New Zealand: Perjalanan berpikir kritis

Tahun kedua menjadi PhD candidate di VUW menjadi perjalanan yang sangat menantang bagi saya secara personal maupun keilmuan. Data penelitian sudah saya dapatkan tetapi saya tidak harus melakukan apa pada data yang telah saya kumpulkan dan tidak tahu darimana harus mulai menulis draft disertasi. Hal ini terjadi karena perubahan cukup signifikan pada arah penelitian yang saya lakukan. Well, that’s part of the research itself, isn’t it? Being dynamic and open to changes and adjustment. Penelitian yang direncanakan akan dianalisa secara kuantitatif menggunakan perhitungan statistik saja berkembang menjadi penelitian mixed-methods dimana pendekatan kualitatif harus ditambahkan. Saya tidak akan membicarakan pendekatan tersebut tetapi lebih ke pengalaman berpikir kritis yang saya jalani dengan bimbingan pembimbing utama dan kedua saya (Dr. Irina Elgort dan Dr. Averil Coxhead), bantuan teman-teman di School of Linguistics and Applied Language Studies serta dukungan unit-unit pembelajaran di VUW. 

Starting points

Sistem pendidikan dasar, menengah dan tinggi yang saya jalani di Indonesia menurut saya pribadi belum membantu saya secara maksimal untuk bisa dan mampu berpikir kritis. Saya ingat betapa saya harus banyak menghapal facts and figures baik di jenjang sekolah dasar maupun menengah. Saat saya di sekolah menengah pertama (SMP), kami mendapatkan mata pelajaran penididikan sejarah perjuangan bangsa (PSPB) dengan buku acuan adalah buku 30 Tahun Indonesia Merdeka. Guru PSPB meminta kami untuk berdiskusi tentang isi salah satu poin dalam buku tersebut dan saya ingat apa yang Beliau katakan saat itu, “Ternyata diskusi tidak bisa berjalan ya di kelas ini?” Beliau dan mungkin guru-guru sekolah saat itu lupa bahwa kami belum pernah diajarkan untuk berdiskusi dan harus melakukan apa dalam diskusi tersebut. Beliau juga mungkin lupa bahwa kami diajari untuk menghapal daripada mengunakan logika dan berargumentasi tentang pendapat kami. Berpikir kritis juga belum saya kenal saat saya berada di bangku sekolah menengah atas (SMA). Secara personal, saya merasa tidak banyak kegiatan yang membuat saya harus beradu argumen, menggunakan logika berpikir atau berdiskusi secara dinamis dengan guru atau dengan siswa lain. Pendidikan tinggi saya di Indonesia memberikan dasar pengetahuan berpikir kritis tetapi kemampuan saya mengaplikasikannya sangat terbatas. Sebagai contoh, saya belajar statistik di jenjang S1 tetapi saya yakin bahwa diskusi hasil penelitian S1 saya yang menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif mungkin sangat dangkal dan tidak terkait dengan literature penelitian yang saya review. Kalaupun ada bab review literature, saya juga yakin bahwa bab tersebut cuma berisi ringkasan-ringaksan penelitian sebelumnya dan tidak ada kritik keilmuan yang bisa saya kemukakan. Pada saat saya S2 sebenarnya saya juga belajar untuk menjadi lebih kritis tetapi saya merasa tidak mendapatkan feedback yang significant dari dosen saya sehingga kemampuan berpikir saya juga tidak berkembang.

Keterbatasan ilmu saya ini menjadi kendala saat saya berhadapan dengan tuntutan untuk mengatur dan melaksanakan riset secara mandiri dan menghadapi masalah dan mencari alternatif pemecahan masalah secara otonom. Kemampuan manajerial saya untuk mengatur waktu dan mencari teori keilmuan, frameworks dan literature untuk menganalisa serta menulis hasil pengumpulan data benar-benar diuji. 

Turning points

Pada bulan Juni 2013, saya melakukan pengumpulan data di Indonesia. Sekembalinya saya di Wellington pada Oktober 2013, saya intensif bertemu dan berkonsultasi dengan pembimbing utama saya dan pembimbing kedua saya. Oiya, saya sangan menyukai gaya supervisi di New Zealand secara umum dan di VUW secara khusus. Gaya egalitarian bisa ditemui hampir di semua sudut kampus kami. Saya hanya harus memanggil nama dua pembimbing saya dengan nama depan mereka, Irina dan Averil. 

Dua minggu sekali saya harus melaporkan 3 hal: apa yang sudah saya lakukan, apa yang sedang saya lakukan dan apa yang akan saya lakukan dua minggu kedepan. Supervisi bisa dilakukan di salah satu kantor dosen pembimbing saya atau bahkan di kafe- kafe di kampus kami (Milk ‘n Honey atau VicBooks) dan tentu saja saya tidak perlu mentraktir pembimbingg saya. Mereka yang biasanya membelikan saya coklat panas dan juga kue-kue. Dari laporan-laporan ini kami membicarakan kendala-kendala yang saya hadapi dan bagaimana cara mengatasinya. Mereka tentu saja tidak memberikan jawaban pasti tentang apa yang harus saya kerjakan. Pembimbing kedua saya biasanya akan memulai brainstroming dan mendorong saya untuk mengemukakan apa masalah saya dan beberapa alternatif pemecahan masalah saya. Pembimbing pertama saya akan mengemukakan pertanyaan, why dan how setelah saya memberikan beberapa alternatif jawaban. Di forum supervisi seperti ini pembimbing saya seringkali mencecar saya dengan pertanyaan lanjutan yang membuat saya kelabakan mencari jawabannya. Di forum ini juga saya mulai melihat betapa saya sangat perlu banyak membaca related literature tentang tema penelitian dan metodologi penelitian saya serta keharusan untuk berpikir, membaca dan menulis kritis. Di forum ini juga saya berurai airmata, bukan karena tidak bisa menjawab pertanyaan pembimbing saya tetapi karena pembimbing kedua saya berkata, “There will be time when you can answer every question confidently and with satisfactory justification”. Akan tiba waktunya, dimana kamu bisa menjawab pertanyaan kami dengan penuh percaya diri dan justifikasi yang memuaskan. Sebagai orang Jawa, pernyataan halus seperti ini bermakna sangat dalam bagi saya. Saya merasa ini adalah ‘tamparan halus’ bagi saya. Pernyataan ini membuat saya terpacu untuk menjadi lebih baik dan pada saat yang sama membuat saya menangis menyadari bahwa sangat banyak hal yang harus saya perbaiki bila tidak ingin mengecewakan pembimbing saya dan juga saya sendiri. 

Pada pertemuan yang membuat saya menangis di hadapan orang banyak itulah (supervisi dilakukan di VicBooks café di lingkungan kampus dan pada jam makan siang) pembimbing saya menyadari bahwa saya perlu mengembangkan penelitian saya. Penelitian yang sedianya hanya menggunakan pendekatan kuantitatif berkembang menjadi penelitian yang menggunakan pendekatan kuantitatif dan juga kualitatif. Karena saya tidak punya cukup pengetahuan tentang cara mengevaluasi penelitian untuk review literature saya dan juga pengetahuan tentang metode penelitian kualitatif dan mixed-methods, pemecahan masalah yang paling mungkin saya lakukan adalah dengan sit-in (aktif mengikuti perkuliahan tanpa perlu melakukan tugasnya) pada mata kuliah di tingkat Master yang mengajarkan tentang evaluasi penelitian di bidang linguistic terapan (applied linguistics) dan juga membaca mandiri literature tentang pedekatan-pendekatan tersebut.

Pembimbing saya menyarankan saya mengikuti mata kuliah Evaluating Research in Applied Linguistics yang diampu oleh Dr. Corinne Seals. Untuk mengikuti kelas Beliau, saya cukup menulis email ke Beliau. Saya mendapatkan izin untuk duduk, mengamati dan juga berdiskusi di kelas Beliau. Saya tidak perlu mengumpulkan tugas seperti mahasiswa reguler. Di kelas ini saya belajar kembali tentang apa yang disebut ‘good research’ baik penelitian kuantitatif maupun kualitatif. Saya juga belajar mengevaluasi secara lisan maupun tertulis hasil penelitian, artikel journal, berdasarkan framework serta kriteria penelitian yang baik. Ada setidaknya 4-5 mahasiswa PhD yang ikut dalam kelas ini dengan tujuan yang hampir sama dengan yang saya miliki, menambah pengetahuan kami untuk lebih bisa mengkritisi penelitian di bidang applied lingusitics dan bisa kami terapkan di tulisan-tulisan kami. 

Support system yang kuat

Lingkugan akademis di sekitar saya juga sangat mendukung kegiatan berpikir, membaca dan menulis kritis saya. Saya ikut dalam beberapa kegiatan mahasiswa PhD semisal Thesis Group yang dimiliki oleh jurusan saya, School of Linguistics and Applied Language Studies (LALS). Kelompok ini dikelola oleh salah satu mahasiswa PhD, bergantian tiap tahun, tetapi anggotanya bisa mahasiswa Master atau PhD di lingkungan LALS. Saya juga ikut dalam Vocabulist, kelompok diskusi bagi mahasiswa dan dosen yang tertarik dengan penelitian tentang Vocabulary. Selain itu saya punya teman-teman yang saya panggil sebagai my personal Devil Advocates karena mereka sering berdiskusi, berargumen dan memberikan masukan secara terbuka tentang kelemahan dan kekuatan tulisan, pendapat atau analisa penelitian saya. Mereka tidak sungkan-sungkan membabat habis argumen saya bila tidak setuju dengan pendapat saya dan juga memberikan masukan yang sangat realistis dan juga bagus untuk memperbaiki tulisan saya. Saya juga punya teman-teman yang teratur melakukan Shut up and write dengan saya dan teman-teman PhD yang lain untuk meningkatkan kuantitas tulisan kami. Shut up and write atau kadang disebut dengan Pomodoro adalah suatu kegiatan dimana kita melakukan kegiatan menulis atau membaca (bekerja) selama 25 menit tanpa berbicara dan 5 menit break (1 set). Hal ini bisa dilakukan dalam beberapa set. Pada saat break selama 5 menit tersebut kita bisa berbicara, minum, makan atau melakukan peregangan untuk menjaga kelenturan otot kita. Jadi saya punya support system yang sangat kuat untuk meningkatkan tidak hanya kuantitas tetapi juga kualitas tulisan saya. Hal ini yang sebenarnya juga sangat ingin saya tularkan ke teman-teman kerja saya saat saya kembali bekerja di Indonesia. 

Dukungan untuk melaksanakan riset mandiri sebagai PhD candidate juga diberikan oleh VUW dan juga unit-unit kerja di bawahnya. Beberapa unit kerja yang sangat membantu saya adalah Student Learning Center (yang sekarang disebut Student Learning saja). Student Learning ini membantu saya untuk belajar bersosialisasi dengan siswa dari seluruh penjuru dunia yang sedang belajar di VUW. Selain itu Student Learning juga memberikan layanan konsultasi apabila ada mahasiswa undergraduate atau post-graduate VUW mengalami kesulitan dalam menuliskan idenya. Student advisor akan berdiskusi dengan mahasiswa tentang ide yang ingin dituliskan dan kemudian memberikan arahan tentang apa yang bisa dan mungkin dilakukan agar idenya bisa tertuang secara rapi dan jelas. Pada saat kita datang dengan draft yang sudah kami tulis, Beliau akan bertanya apakah kami meminta feedback kebahasaan, organisasi atau isi tulisan. Seringkali kami tidak bisa memilih dan meminta Beliau untuk memberi feedback untuk tiga poin tersebut.  Para student advisor juga menjadi tempat kami curhat, berkeluh kesah dan juga teman yang kritis saat kami berlatih public speaking untuk menjadi presenter pada suatu konferensi dan seminar. Student Learning juga menyediakan workshop serta tips untuk menulis kritis, menganalisa data secara statistik dan juga mereview atau mengedit tulisan secara mandiri. 

Keep learning

Secara keseluruhan, saya sangat beruntung karena saya memutuskan untuk mengambil PhD di Victoria University of Wellinton, New Zealand. Saya menemukan universitas, orang-orang dan support system yang tepat untuk membantu saya mengembangkan kemampuan saya baik secara akademis dan personal. Saya belajar berpikir kritis serta memecahkan masalah dari awal sampai akhir proses pembelajaran saya. Sampai sekarangpun saya masih tetap belajar. Saya terus belajar untuk tidak berhenti membaca, menulis dan berpikir kritis di manapun saya berada.

Anik Nunuk Wulyani dianugerahi gelar Doctor of Philosophy in Applied Linguistics dari Victoria University of Wellington, New Zealand pada 7 Agustus 2017. Tema penelitian yang dia minati adalah teacher professional development (TPD),  English Language Teaching (ELT), vocabulary, dan penggunaan information and communication technology (ICT) untuk ELT. Saat ini dia mengajar di jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang. Alamat email : anik.nunuk.fs@um.ac.id