(0341) 571035 library@um.ac.id

Oleh : Grace Tjandra Leksana*

Kafe di Kayutangan Heritage Sumber : Viva Malang

Suatu ketika seorang kawan dan mantan kolega saya, seorang Belanda, berkunjung ke Malang. Saya lalu membawanya ke sebuah kafe di tengah kota, tidak jauh dari kampus Universitas Negeri Malang, untuk berbincang dan makan siang. Menariknya, ia terkejut dengan tampilan kafe tersebut. Sebagai warga negara Belanda, ia takjub dengan banyaknya kata-kata berbahasa Belanda yang terpampang di kafe tersebut. Misalnya saja, kafe tersebut menggunakan kata koffie dalam namanya, sebuah kata Belanda untuk kopi. Di pintu kafe juga tertulis koffie en eaten, belum lagi area kasir yang dihias dengan kata-kata in de stad

Sang kawan lalu bertanya pada saya, mengapa kafe ini penuh dengan bahasa-bahasa Belanda, bahkan menyediakan stroopwafel –salah satu biskuit khas Belanda. Saya lalu menjelaskan bahwa ini adalah tren kekinian di kota Malang. Tampilan berbahasa Belanda di ruang publik merupakan sebuah upaya untuk mengenang masa lalu- sebuah kenangan ala tempo doeloe. Lalu kawan saya berkata, “Tapi itu kan masa lalu yang kelam”. 

Perempuan pekerja pemetik kopi di perkebunan kopi di Jawa. (Foto : KITVL).

Ya, kelam. Kehadiran Belanda di kota Malang adalah bagian dari praktik kolonialisme. Okupasi. Eksploitasi. Penjajahan. Penindasan. Sebutlah kata-kata lain yang terkait dengan kolonialisme, dan kita akan mendapatkan kesimpulan bahwa ada masanya dimana kita, sebagai sebuah bangsa, diperlakukan hanya sebagai objek tanpa agensi. 

Dengan demikian, tampilan ke-belanda-belanda-an di ruang publik seperti yang dilihat oleh kawan saya menjadi sangat problematis. Ia hanya menonjolkan satu sisi dari masa lalu, dan menegasikan sisi kelam dari kolonialisme itu sendiri. Bahkan nama-nama jalan pun diubah sesuai nama ‘aslinya’ – dalam hal ini, yang ‘asli’ itu berarti Smeroestraat, Coenplein Jan Pieter, atau Capellanstraat van Der. Mengapa kita terjebak dalam menampilkan yang kolonial saat kita ingin membangkitkan ingatan atau sejarah masa lalu? Apakah kita tidak punya sejarah sebelum bangsa Eropa datang? Mengapa kita tetap menempatkan bangsa kita di latar, di pinggiran, saat kembali ke masa kolonial? Mengapa upaya untuk kembali ke tempo doeloe seolah memperlihatkan kolonialisme sebagai sesuatu yang ‘baik-baik saja’?

Dalam keadaan ini, kita bisa berdalih bahwa hanya sumber-sumber atau arsip kolonial lah yang tersedia ketika merekonstruksi masa lalu. Dalih lainnya; bahwa kebijakan kolonial juga membuat kota dan masyarakat Malang menjadi ‘modern’ – lihat saja Ijen Boulevard. Tetapi kita seolah abai terhadap kenyataan bahwa baik kota maupun dokumentasi kolonial tersebut dibuat untuk kepentingan kolonial sendiri. Modern pun menjadi problematis. Modern menurut siapa? Apakah hanya ada satu template untuk menjadi modern? Inilah yang menurut Eric Wolf dianggap sebagai kerancuan: sejarah dianggap sebagai sebuah lomba kisah sukses, dimana ada yang lebih unggul dan ada yang terbelakang. Dengan demikian, si unggul perlu mengajarkan bagaimana caranya menjadi modern.  

Kawasan Kayutangan adalah salah satu contoh proyek brutal modernisasi kolonial, bahkan bisa dilihat sebagai bentuk kekerasan spasial. Kampung yang sudah ada jauh berabad-abad sebelum kedatangan bangsa Eropa, meskipun hanya berupa sekumpulan rumah sederhana, secara sistematis ditutup oleh rentetan pertokoan sejak awal abad ke-20. Dengan alasan perkembangan kota, memenuhi kebutuhan kapitalistik kolonial, fenomena kosmopolitanisme, atau apalah, kampung yang menjadi pusat kehidupan menjadi tidak penting. Pemerintah kolonial menggeser pusat kehidupan, yaitu kampung, menjadi pusat kapitalisme dengan berdirinya toko-toko di sepajang Kayutangan. Sebagaimana ditulis dalam De Indische Courant pada 1934, dengan kehadiran toko-toko tersebut, “tidak akan ada lagi yang ingat dengan bangunan jelek dan kuno yang ada beberapa meter di bawah Kajoetanganweg” (kini area Kayutangan). Alhasil, warga kampung kayutangan dipinggirkan secara spasial.

Belum lagi proyek Kampoeng Verbeteringen atau perbaikan kampung-kampung yang diluncurkan sekitar 1927 melalui pembangunan sanitasi, perbaikan saluran air, atau pembangunan rumah-rumah berdinding tembok. Dengan alasan mencegah penularan penyakit menular atau memperbaiki taraf hidup warga ‘pribumi, proyek ini berdampak pada hilangnya tradisi gotong royong dalam pembangunan rumah dan menggantinya dengan sistem upah dalam membangun rumah. Kampoeng Verbeteringen menjadi proyek salah sasaran: berupaya untuk memperbaiki bentuk fisik kampung, namun tidak memecahkan akar masalahnya, yaitu kemiskinan sistematis akibat kolonialisme. 

Dengan demikian, kita perlu menampilkan lebih banyak dimensi dalam masa lalu, terutama jika mengangkat masa kolonial. Di balik kata ‘koffie’, perlu ada yang menyampaikan bahwa di perkebunan kopi Ampelgading, atau Tirtoyudho, atau Sumbermanjing, terdapat pembagian kerja berbasis ras yang sangat kentara. Posisi manajerial dikuasai oleh orang Eropa, sedangkan para ‘pribumi’ dipegang oleh para buruh kasar. 
Di balik gula yang menciptakan stroopwafel, adalah para perempuan-perempuan buruh tebu yang bekerja untuk anak-anak mereka, yang karena ke-pribumi-annya, hanya akan berakhir di sekolah Ongko Loro sebagai tingkat pendidikan paling tinggi. Maka dari itu, perlu ada yang menciptakan wacana tandingan agar tempo doeloe didudukkan pada porsinya – se-trendy apa pun masa lalu kolonial itu, ia tetaplah sebuah kekerasan.

*Grace Tjandra Leksana adalah pengajar Sejarah di Universitas Negeri Malang. Dia mendapatkan gelar Doktor  di bidang Sejarah dari Universitas Leiden pada tahun 2020. Selama bertahun-tahun ia fokus pada kajian sejarah kekerasan di Indonesia.

Translate »